Eksplorasi Gua dan Pendataan Sosial Masyarakat di Pangkalan
Petualangan
yang dilakukan oleh para pencinta alam seharusnya meninggalkan manfaat bukan
hanya untuk pelakunya, tetapi lebih luas, termasuk bagi masyarakat yang berada
di sekitar lokasi dilakukannya petualangan.
Demikianlah kredo yang kali ini kembali
diterapkan oleh Perhimpunan
Mahasiswa Pencinta Alam Palawa Universitas
Padjajaran (PMPA PALAWA UNPAD) melalui suatu kegiatan ekspedisi yang diberi
judul “Penelusuran, Pemetaan, dan
Pendataan Lingkungan Gua Kawasan Karst Pangkalan, Kabupaten Karawang”.
Gua-gua yang
berada di Desa Tamansari, Kecamatan
Pangkalan, Kabupaten Karawang menyimpan berbagai keindahan khas “dunia bawah
tanah” dan potensi sumber daya alam yang melimpah. Lebih dari sepekan, yakni
sejak 12 Juli hingga 21 Juli 2014, tim PMPA PALAWA UNPAD berkegiatan di sana.
Gua-gua
di Pangkalan sebenarnya memiliki potensi wisata salah satunya adalah Gua Gede
yang memiliki lorong unik seperti buatan manusia. Namun karena untuk
memasukinya membutuhkan peralatan khusus membuat gua-gua di Pangkalan susah
untuk dijadikan gua wisata. Mungkin sejauh ini hanya Gua Haji yang berpotensi
wisata, itupun masuk dalam kategori wisata ziarah.
Pandangan masyarakat Pangkalan terhadap gua hanya sekedar tahu saja bahwa gua tersebut terdapat sarang waletnya, sumber air di dalamnya, atau makam keramat, dan lain sebagainya, namun belum berinisiatif untuk menjaga keberlangsungan dan eksistensinya. Hal tersebut mungkin, salah satunya, dipicu oleh rendah dan kurangnya pendidikan dan bekal ilmu pengetahuan masyarakat mengenai fungsi dan nilai penting melestraikan gua dan kawasan karst yang mereka diami tersebut.
Bagi
sebagian kalangan masyarakat, kata “karst” masih sering terdengar asing. Karst, ringkasnya, adalah
suatu bentang alam yang terbentuk pada batuan mudah larut seperti formasi
batuan karbonat yang mengalami pelarutan. Di kawasan karst itulah fenomena pembentukan
gua kerap terjadi. Adapun yang dimaksud dengan “gua” adalah lubang alami yang
terdapat di dalam tanah. Menurut IUS (International Union of Speleology), cave atau gua yaitu setiap ruang bawah
tanah yang berbentuk lorong-lorong yang dapat ditelusuri atau dimasuki manusia.
Tim yang
beranggotakan 7 orang dan 2 orang pembimbing ini mengusung dua konsep yang
berbeda, yaitu konsep endokarst (dalam gua) dan eksokarst (luar gua). Di mana
pada konsep endokarst tim melakukan kegiatan penelusuran gua (eksplorasi),
pemetaan, pendataan biota, dan pendokumentasian ke-9 gua yang berbeda.
Konsep
endokarst diusung karena kami ingin mengetahui bagaimana keadaan gua-gua di
kawasan pertambangan yang kian hari semakin intensif dieksploitasi. Apakah
keadaannya baik-baik saja, terancam rusak atau mungkin bahkan punah. Bagaimana status dan
eksistensi gua di sana juga
yang akan kami ulas dalam melakukan kegiatan ekspedisi ini.
Melalui ekspedisi ke Pangkalan ini
kami mengetahui bahwa kondisi sebagian gua-gua di Pangkalan ada yang berstatus
baik dan sebagian ada juga
yang rusak. Gua Cilele, Gua Gede, Gua Citamiang, Gua Khotib dapat menjadi contoh dari gua yang
masih berstatus baik karena ornamen yang
terdapat di dalamnya
masih bagus dan
hidup. Biasanya gua yang berada dalam keadaan baik adalah gua-gua yang jauh
dari areal pertambangan, sedangkan gua yang berstatus rusak adalah gua-gua yang
dekat dengan areal pertambangan, antara lain adalah Gua Bagong yang kini dalam
kondisi memprihatinkan dan mengalami pencemaran.
Pencemaran
yang terjadi di Gua Bagong berupa limbah dari pembakaran batu kapur yang
berwarna hitam pekat dan mengeluarkan hawa panas serta tinggi limbah tersebut
kurang lebih satu meter. Hal tersebut patut disayangkan karena Gua Bagong tidak
dapat ditelusuri dan dieksplorasi oleh pencinta alam seperti kami atau
wisatawan jika dibuat suatu sistem pengelolaan, padahal ornamen dari mulut gua
saja sudah terlihat dan sekarang ornamen tersebut mati karena pengaruh limbah.
Selain
Gua Bagong, Gua Haji juga terancam keberadaannya. Sekarang ini Gua Haji menjadi
tempat istirahat, bahkan
tempat untuk tidur, bagi
para penambang yang kelelahan atau kemalaman. Di dalam Gua Haji terdapat
sebuah makam tokoh agama di Pangkalan. Mungkin
jika tidak terdapat makam yang dikeramatkan di dalamnya, boleh jadi atau bahkan
pasti, gua tersebut sudah dikeruk oleh penambang melihat sekeliling gua sudah
dikeruk habis.
Fika menuruni lorong vertikal [foto oleh Najib] |
Bagi
masyarakat di Pangkalan, gua memliki fungsi dan manfaat yang menguntungkan. Di antaranya sebagai sumber
penghasilan karena gua-gua di Pangkalan banyak terdapat sarang burung walet
serta kelelawar untuk dijual atau dikonsumsi dan juga sebagai sumber mata air. Dengan
manfaat yang menguntungkan tersebut maka sangat disayangkan apabila gua-gua
yang menjadi sumber manfaat dan mata pencaharian warga kini sebagian rusak,
hancur, dan hilang keberadaannya. Salah satu cara untuk tetap menjaga gua, khususnya gua yang terdapat
sarang waletnya, adalah
dengan cara memagari mulut gua dengan teralis besi.
Pandangan masyarakat Pangkalan terhadap gua hanya sekedar tahu saja bahwa gua tersebut terdapat sarang waletnya, sumber air di dalamnya, atau makam keramat, dan lain sebagainya, namun belum berinisiatif untuk menjaga keberlangsungan dan eksistensinya. Hal tersebut mungkin, salah satunya, dipicu oleh rendah dan kurangnya pendidikan dan bekal ilmu pengetahuan masyarakat mengenai fungsi dan nilai penting melestraikan gua dan kawasan karst yang mereka diami tersebut.
Sepertinya
tidak hanya masyarakat di Pangkalan saja yang kurang mengetahui fungsi dan
manfaat gua, jajaran pemerintah Karawang yang tentu pendidikannya lebih tinggi
dari warga di Pangkalan juga nampaknya jauh lebih tidak mengerti karena sampai
sekarang belum menemukan jalan keluar untuk kawasan karst yang kini semakin
dieksploitasi secara besar-besaran dan ilegal.
Sedangkan
konsep eksokarst yang diusung adalah pendataan sosial masyarakat di Dusun
Tanahbereum dan pendataan mengenai corporate
social responsibility (CSR) salah satu pabrik semen yang baru berdiri di sana dengan cara wawancara
dan juga observasi. Pendataan mengenai CSR dari pabrik semen bertujuan ingin
mendapatkan data tentang CSR apa saja yang direncanakan dan mana saja rencana
tersebut yang sudah terealisasi. Sedangkan pendataan sosial masyarakat
dilakukan karena melihat kondisi Dusun Tanahbereum yang menurut kami jauh dari
kata sejahtera, karena di dusun tersebut tidak terdapat listrik dan air bersih.
Selain
tidak adanya listrik dan sumber air bersih, di sana juga tidak terdapat kamar
mandi yang layak. Kamar mandi di sana biasa disebut jamban, bentuknya hanya
dikelilingi penutup setengah badan dari karung beras atau spanduk. Jamban
tersebut digunakan hanya untuk mandi dan buang air kecil saja, sedangkan untuk
buang air besar biasanya warga membuangnya di kebun-kebun belakang rumah tanpa
harus menggali terlebih dahulu.
Kondisi
warga yang membuang hajat di kebun dapat menjadi pemicu tercemarya air bersih
di kawasan karst karena salah
satu fungsi kawasan karst adalah menampung air, terbayang jika air tersebut
tercemar oleh bakteri ecoli yang dihasilkan oleh kotoran manusia. Selain itu di
Dusun Tanahbereum terdapat sebuah cekdam yang
dimanfaatkan oleh warga untuk mandi dan mencuci. Sayang sekali keadaan air cekdam sangat
tidak layak karena berwarna kehijauan serta bukan air yang mengalir tetapi
tampungan air hujan. Setiap hari warga menggunakannya untuk keperluan
sehari-hari, bahkan hewan ternak pun ikut
memanfaatkannya untuk mandi dan minum.
Selain
cekdam, tampungan air hujan pun
menjadi sumber air bersih bagi mereka. Padahal kita ketahui wilayah Karawang
memiliki intensitas curah hujan yang minim, dan sekarang ini air hujan yang
turun di Pangkalan telah terkontaminasi oleh pabrik semen dan pembakaran batu
hasil pertambangan sehingga menjadi asam dan itu tidak baik bila digunakan.
Untuk air minum biasanya warga membelinya ke warung terdekat dengan harga Rp7000/ jerigen dan Rp 4000/ galon jika membelinya di
depot air isi ulang dengan resiko membelinya ke dekat jalan raya dan melewati
jalanan yang buruk. Jika musim kemarau datang, warga mendapatkan air dari dusun sebelah yang
berjarak 1 km dari Tanahbereum dengan menggunakan ojek. Air tersebut berasal
dari Gua Dayeuh dan Gua Cipereun yang sudah biasa di manfaatkan oleh warga.
Bila malam datang, suasana
Dusun Tanahbereum menjadi seperti tidak berpenghuni karena gelap dan sepi. Jika
melihat kondisi dusun yang seperti ini tidak pernah terlintas bahwa lokasi ini
terdapat di Pangkalan (Karawang) mengingat
daerah ini kaya akan sumber daya alamnya dan tidak jauh dari ibukota negara,
namun mengapa masih terdapat dusun yang jauh dari kata sejahtera?
Jarak
Dusun Tanahbereum ke tempat yang terdapat listrik tidak begitu jauh, tidak sampai 1 km jaraknya. Harusnya
dengan situasi yang seperti itu Dusun Tanahbereum dapat teraliri listrik dan
mendapatkan pasokan air
bersih dengan mudah karena sebenarnya aksesibilitas
jalanlah yang menghambat ini semua. Jika masalah jalan dikeluhkan oleh warga di
Tanahbereum, berbeda bagi para pecinta kegiatan off road dan motor cross, jalanan
seperti di Tanahbereum adalah yang dicari. Termasuk pak bupati Karawang salah
satunya yang memiliki hobi serupa. Bila pak bupati sedang melakukan hobinya
tersebut, beliau hanya melewatinya saja dan tidak
menghiraukan
keadaan dusun yang seharusnya memerlukan bantuan. Tentang aktivitas offroad pak bupati dan
teman-temannya, beberapa warga yang kami wawancara sebagai narasumber mengeluhan aktivitas itu yang dinilai malah semakin membuat rusak jalan di
dusun mereka.
Mengenai
masalah CSR dari pabrik semen memang mereka memiliki rencana-rencana yang baik
untuk warga di Pangkalan, namun perlu diingat lagi rencana tersebut pada
dasarnya untuk kebaikan dan keberlangsungan pabrik juga. Bentuk CSR pabrik
tidak berbentuk uang, salah satu bentuk CSR yang direncanakan dan yang telah
terealisasi adalah mengenai infrastruktur jalan raya Pangkalan yang diperbaiki sepanjang ± 5 km
jauhnya, membantu pembangunan mesjid dan mushola, pemberian natura (sembako)
setahun sekali, serta membuat kartu jaminan kesehatan bagi warga di Pangkalan yang sampai saat tim berada di lapangan kartu
kesehatan tersebut belum
tereallisasi karena baru disetujui saja dan belum
disahkan.
Banyak
warga yang mengeluh tentang berisiknya pabrik, pencemaran udara, hujan asam dan
lainnya namun mereka hanya bisa mengeluh di belakang saja karena mereka tidak
tahu kepada siapa harus mengadu.
Fakta
yang PMPA PALAWA UNPAD temukan selama di sana berbanding terbalik dengan kondisi
pertambangan yang seharusnya. Kondisi warga yang hidup makmur karena mendiami
bentang alam berkapur tidak terlihat. Potensi sumber daya alam yang unik di
sana sewajarnya diangkat dengan tidak hanya melalui usaha-usaha ekstraktif
seperti pertambangan.
Semoga
pemerintah Karawang dapat segera berbenah dan mulai lebih serius menggulirkan
program-program pemberdayaan masyarakat yang dapat benar-benar memberdayakan.
Tanggungjawab sosial perusahaan pertambangan serta pabrik semen yang beroperasi di sana perlu dipertanyakan dan
dikawal dalam proses pemenuhannya sehingga warga menjadi lebih sejahtera. Pasokan
listrik, air bersih, dan sistem sanitasi bagi
warga menjadi tiga hal yang layak diprioritaskan.
Mungkin fenomena
seperti ini tidak hanya terjadi di Karawang saja, tetapi pada banyak kawasan
karst di Indonesia. Pengusaha
bergandeng tangan dengan pemerintah untuk secara masif mengeksploitasi sumber
daya alam dengan meminggirkan warga setempat. Masalah mengenai lingkungan selalu
berkaitan dengan soal sosial ekonomi kemasyarakatan.
Komentar
Posting Komentar