Candi Batujaya (1): Mengapa Mesti Berbagi Peran?

KOMPLEKS Percandian Batujaya, ternyata, menceritakan banyak hal. Di sana, terdapat cerita tentang sejarah panjang kehidupan manusia yang menghuni pesisir pantai utara Jawa Barat. Ada pula cerita tentang arah hadap candi yang tidak lazim, bentuk candi yang berbeda-beda, dan dugaan invasi Kerajaan Sriwijaya ke tanah Jawa. Akan tetapi, semuanya kini masih menjadi misteri. Awal September 2010, “PR” mengirimkan tim penulis untuk menggali kisah-kisah tersebut, yakni Tendy K. Somantri, Soni Farid Maulana, Hazmirullah, dan Dewiyatini. 

Mereka dibantu personel Pusat Data dan Dokumentasi Medi A.H.N. dan P.B. Indrakusumah. Sebagai pelengkap tulisan, “PR” juga mengirim wartawan Ag. Trijoko Her Riadi berkunjung ke Candi Prambanan untuk memperoleh gambaran soal perlin-dungan, pengembangan, dan pemanfaatan kompleks percandian. Kisah kian lengkap dengan tulisan T. Bachtiar mengenai Karst Pangkalan yang diperkirakan sebagai tempat pengambilan batu kapur untuk “membungkus” candi-candi di Batujaya.

Semuanya kami persembahkan untuk Anda! Pandi bersusah payah membuka pintu gerbang Gedung Penyelamatan Benda Cagar Budaya Situs Batujaya, yang terletak di Desa Segaran, Kecamatan Batujaya, Kabupaten Karawang. Pintu besi itu mulai berkarat, keropos, dan sulit untuk dibuka ataupun ditutup. Padahal, usianya masih relatif muda, enam tahun. Bersama Eha Amiati, Pandi bertugas menjaga gedung tersebut. Namun, mereka tak harus standby seharian di dalam gedung. Mereka baru datang ketika ada pengunjung. Tak jarang, pengunjung mesti menunggu agak lama di depan pintu gerbang. Di atas lahan seluas 1.500 meter persegi ini, gedung penyelamatan itu dibangun. Tujuannya untuk menyimpan benda-benda peninggalan yang ditemukan di Situs Batujaya. Hari ke hari, benda peninggalan yang ditemukan semakin banyak. Gedung yang berjarak enam ratus meter dari kompleks candi itu pun, tak lagi sanggup menampung benda-benda temuan. Akibatnya, benda-benda bersejarah itu pun menumpuk di dalam gudang dan ruang informasi. 

** 

PADA pintu masuk kawasan candi di kiri jalan, terdapat bangunan yang juga dijadikan sebagai tempat penyimpanan benda-benda temuan dari Kompleks Percandian Batujaya. Ketika berkunjung awal September, “PR” bertemu Kaisin (71), sang juru pelihara. Kami berbincang banyak soal kompleks percandian itu. Pada satu titik, berbekal informasi yang diterima sebelumnya, “PR” menanyakan ihwal tangan emas yang, katanya, baru ditemukan di dekat Candi Blandongan. Kaisin menunjuk ke bangunan di seberang. “Ada di sana. Coba saja tanyain. Ada yang nunggu kok,” katanya. Pada kanan jalan, tepat di seberang bangunan itu, ternyata memang ada bangunan yang memiliki fungsi serupa: sebagai tempat menyimpan benda-benda temuan dari situs Batujaya. Usut punya usut, kedua bangunan itu berbeda status kepemilikan. Bangunan di kiri jalan yang dikelola Kaisin, ternyata di bawah pengawasan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Sementara bangunan di seberangnya “milik” Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Serang. 

** 

Begitulah kondisi di Kompleks Percandian Batujaya saat ini. Banyak lembaga berebut peran, sehingga terjadinya tumpang tindih kewenangan. “Jauh lebih baik jika pemerintah pusat, segera membuat konsorsium berisikan pihak-pihak yang memang berwenang. Hanya dengan langkah demikian, penelitian di Batujaya akan berjalan efektif dengan arah yang jelas,” ujar Mumuh Muhsin, sejarawan dari Universitas Padjadjaran. 

Arah yang jelas? Ya, memang, sampai dengan hari ini, perlakuan terhadap Kompleks Percandian Batujaya belum jelas. Dalam bahasa yang lugas, Judi Wahjudin, Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang, mengakui hal itu. “Karena keterbatasan dana, situs Batujaya memang belum jadi plain,” ujarnya. Jangankan soal perlakuan ke depan, perbedaan persepsi justru sudah terjadi sejak awal, yakni mengenai “status” candi, apakah termasuk dead monument atau living monument. 

Arkeolog Universitas Indonesia, salah seorang peneliti kawasan tersebut selama lebih dari 25 tahun, Hasan Djafar berpendapat bahwa candi-candi di Batujaya dikategorikan sebagai dead monument. “Soalnya, sudah tak ada lagi pengikutnya. Oleh karena itu, candi-candi di sana tidak bisa digunakan untuk beribadah,” katanya. Sementara itu, menurut Judi, candi-candi tersebut dikategorikan sebagai living monument. Alasannya, berdasarkan undang-undang yang ada, terdapat tiga aspek yang harus dipenuhi dalam upaya konservasi cagar budaya, yakni perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. “Penyelenggaraan ibadah di candi termasuk di dalam ketiga aspek tersebut. 

Sejauh ini, sudah tiga tahun berturut-turut, Candi Jiwa di Batujaya dijadikan tempat menggelar puja bakti oleh umat Buddha. Sedikitnya tiga ribu orang yang hadir,” ujarnya. Persoalan lain yang muncul adalah mengenai pengembangan dan pemanfaatan kawasan situs tersebut. Apakah sebatas objek penelitian atau akan dimanfaatkan sebagai objek wisata. “Inilah yang belum jelas. Kendatipun demikian, beberapa waktu lalu, presiden sudah menyatakan bahwa Batujaya dijadikan sebagai kawasan strategis nasional,” kata Judi. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Barat Deny Juanda mengatakan, sebagai kawasan strategis akan ada pengaturan tersendiri mengenai tata ruang kawasan Batujaya. “Akan tetapi, saat ini masih dalam proses. Nantinya, saya kira Batujaya bisa dikembangkan sekaligus sebagai pusat penelitian, pusat wisata, dan peribadatan,” ujarnya. 

Perihal lokasi percandian yang ada di areal sawah yang luas, Deny menilai hal itu tidak akan menjadi masalah. Pembebasan lahan tidak harus menghapus seluruh areal persawahan berada di sekitar candi. Justru, hamparannya mesti dijadikan sebagai bagian integral kompleks percandian tersebut. “Tantangannya di situ. Bagaimana membuat tata ruang yang menarik, tanpa merusak persawahan yang ada,” kata Deny. Hal senada dikatakan Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang Acep Jamhuri. Kalaupun ada pembebasan lahan, itu hanya untuk membangun akses dari candi satu ke candi lainnya. “Ya, paling-paling lebarnya dua meter. Kami tidak akan mengalihfungsikan sawah. Kasihan para petani,” katanya. 

Lebih jauh Deny mengatakan, pengembangan Batujaya sebagai kawasan wisata akan jauh lebih baik jika menyertakan unsur ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak melulu menyodorkan kepentingan masa lalu. Untuk itu, ia berharap berbagai pihak yang terkait dalam penelitian dan pengembangan Batujaya dapat segera berembuk untuk membuat semacam nota kesepahaman. “Dengan demikian, akan menjadi jelas mau dibawa ke mana Batujaya nantinya,” ujar Deny menandaskan. Vimala Puspita, pendeta Vihara Karuna Mukti Bandung, mengatakan, dukungannya terhadap pengembangan Batujaya menjadi salah satu kawasan wisata sekaligus peribadatan, terutama saat perayaan Waisak. Dengan demikian, candi akan mampu memberikan nilai tambah secara sosial-ekonomi –bahkan mungkin budaya– kepada masyarakat sekitar. “Perayaan Waisak akan dihadiri umat Buddha dari berbagai aliran, beragam sekte. Tidak ada masalah. Upacara bisa dilakukan secara bergantian. Yang terpenting, puncak peringatan berupa hening dilakukan bersama-sama. Justru kami senang bisa berkumpul dengan saudara-saudara Buddha yang lain,” kata Vimala, penganut aliran Theravada itu.  (Sumber: Selisik-Pikiran Rakyat, 27 September 2010)***

Komentar

Postingan Populer