Cikarang-Kutajati-Jatiluhur

Pagi itu akhirnya berkumpullah empat penggowes di pemasaran Deltamas setelah sebelumnya start dari Alfamidi. Terlambat sejam dari jadwal, hadeuh… alamat bakal menyanyikan lagu God Bless… “Menjilat Matahari” sampe lidah melepuh. Genjot onroad menuju Desa Nagasari dan Pasirkupang, makan pagi dulu ah…  Sebagai yang tidak mengikut salah satu NR ramadhan paling sering diceritakan ulang rasa penasaran saya mendorong dengkul semangat. 

Jalan raya pangkalan menyambut, dengan truk-truk besar dan debu beterbangan. Isi penuh penuh botol minum segera mulai jalan miring ke atas menuju tujuan pertama: Goa Bau.

Nr paling heboh, jalur dari Pangkalan ke AA Bike, hari itu kami melawan arah jalur NR ini. Penasaran terus sama jalur ini, dan meskipun melewati jalan rollng bergantian naik turun, dan sekitar 80% jalan sudah di beton, lumayan kami bisa menghindar dari asap tebal hitam, yang biasa menyapa saat kita gowes onroad dari arah bendung cibeet menuju Pangkalan. Trek alternatif yang asyik menuju Pangkalan.  

Tentu saja tidak bisa melewati kawasan pabrik semen baru di Pangkalan yang sekarang sudah tertutup. Dari Pasirkupang kita pun akhirnya pitstop setelah mencapai jalan raya Pangkalan tak jauh dari lokasi Pabrik Semen, memang perjalan sampai jam 9an ini adalah perjalanan menuju titik start nanjak. Ya, setelah part ini tidak akan banyak warung tersisa, tidak akan banyak kehidupan normal menyapa. Jalan raya pangkalan menyambut, dengan truk-truk besar dan debu beterbangan. Isi penuh penuh botol minum segera mulai jalan miring ke atas menuju tujuan pertama: Goa Bau.  

Diawali dengan kampung yang ramah, yang menanyakan, “mau kemana?”… “takut salah jalan lho….” sampai dengan “jalannya jelek…” dan pada akhirnya “ati ati ya dik….”. Selalu tersentuh dengan perhatian dan rasa ingin membantu mereka yang tulus.  

Kemudian jalan, masih miring ke atas, melewati area yang tiba tiba asing. Rasanya terakhir saya lewati masih berupa hutan pohon jati rimbun di kiri kanan jalan, namun yang kami lihat hari itu adalah excavator dan dump truck besar besar yang sibuk lalu lalang. 

Area ini jadi berbeda sama sekali, banyak perubahan, dan mengingatkan saya pada awal trek Cioray di Cibinong, yang juga melewati penambangan bahan baku pabrik semen.  Kemudian saya teringat obrolan dengan Pak Tebe tentang area ini. Area pembakaran batu kapur, lokasi di sepanjang sungai. Sangat cocok dengan kisah kerajaan Tarumanegara, yang berdiri di sekitar abad ke-4 dan ada sampai abad ke-7. Lokasi mereka di sekitar sungai Citarum. Tarumanegara = Citarum. Dan dari ditemukannya beberapa candi yang diduga dari jaman Tarumanegara, terlihat bahwa teknologi bangunan mereka adalah teknologi batu bata dan keramik. Area penambangan batu kapur ini bisa jadi sudah berperan penting sejak abad ke-4 alias 1600 tahun yang lalu.  Perjalanan dilanjutkan naik naik dan naik, menembus ‘hutan batu’ sampai akhirnya menjelang jam 9 pagi sampailah kami di mulut Goa Bau.  

Buat saya ini adalah kunjugan kedua ke Goa Bau. Kunjungan pertama sekitar setahun yang lalu dengan Omsigit. Goa Bau belumlah terlalu berubah, hanya kesulitan masih sama, jalan akses menuju Goa sangat susah ditemukan. Untung ada pohon besar penanda tujuan.  Istirahat dan cerita cerita, termasuk cerita Omokky yang teringat saat mencari lokasi Goa ini pertama kali bersama tim Omyadi, Paktebe, Kangasol, Omrudy, Omarif dll. Goa ini memang terasa agak ngeri dan suasana mistis. Untung masih terang jam 9 pagi. Omokky menemukan suatu buntalan kain putih berbau bangkai. Hiiii… 

Area ini jadi berbeda sama sekali, banyak perubahan, dan mengingatkan saya pada awal trek Cioray di Cibinong, yang juga melewati penambangan bahan baku pabrik semen. 

Perjalanan dilanjutkan setelah menghabiskan setengah liter air di depan gua. Nyobain jalan yang ditulis berdasar pengamatan via Google Earth. Pertama masih terlihat sampai akhirnya pohon bambu makin rindang, dahan potong makin sering masuk jeruji dan rantai. Diputuskan setelah setengah jam celingukan; Balik kanan!!  Wkwkwkw…  

Trek dilanjutkan bagian klasik yang sering disebut rekan Cikarang mtb sebagai ‘hutan jati’. Jika dari Cherry hutan janti ini ditempuh sebagai turunan, maka dari arah Goa Bau hutan jati ini menjadi tanjakan, singletrek meliuk liuk yang teduh dibawah rimbun pohon jati. Tanjakannya sama sekali tidak terjal, singletrack juga seperti ular merayap, aseli… nikmat enjoy… Sayangnya (ada saja deh sayangnya), tanjakannya gak habis habis. Akhirnya kita menepi dan lagi lagi pitstop.  Cukup lama, mungkin dua batang saya lihat Om Royan sampe sempat merokok. Hutannya teduh, jalan makadam akses sebenarnya sudah menjadi seperti trek downhill. Untuk dilewati genjot sudah sangat sulit, seperti sungai kering. Kami melewati jalan yang biasa dipakai motor, asli singletrek yang asik.  Setelah puas istirahat kami melewati puncak bukit dan tampaklah sekarang lembah area Pasircongcot sampai San Diego dan Cherry membentang di bawah. Di sebelah kanan tampak juga kaki gunung Sangga Buana. Eneg juga melihatnya, membayangkan rolling panjang sampai Kutajati nun jauh di seberang. Tapi ada hiburannya, trek selanjutnya adalah turunan singletrack. Widih! The best of Cherry area deh! 

Sedemikian lama kita turun melewati jalan yang cuma cukup untuk ban motor saja. Turun meliuk dengan beberapa selingan tanjakan. Kata Om Royan, pas turunan lupa hutang, tapi pas papasan dengan motor di jalan sempit tiba tiba ingat hutang lagi. Tak lama kami pun berhenti dulu di bawah pohon asem. Setelah pitstop pohon asem tidak lagi ada turunan panjang, yang ada adalah rolling naik dan turun saling bersambut. Naik ke puncak bukit disusul dengan turun meliuk ketemu sungai kering, lalu disambut naik lagi. Begitu terus. Sampai tiba tiba Om Tulus dan Om Oki teriak… "Wah, Warung Kurma nih !”  Memperhatikan pohon kurma memang unik juga, pohonnya sih mirip umumnya pohon sejenis palem, cuman ini buahnya kurma. Seperti umumnya pohon di kampung, maka ya tetap diperlakukan biasa, si pohon diikat tali untuk jemuran baju. Ibu pemilik warung bercerita kalo ada yang menawar pohonnya untuk dibeli 7 juta rupiah tapi gak diberi. 

Yang lebih seru adalah cerita bapak pemotong rumput, cerita masa kecil belio di area ini dimana masih hutan lebat dan banyak ‘owa’ nya. Ingat ‘owa’ jadi ingat perjalanan bersepeda ke Citalahab, ada owa jawa masih tersisa disana. Sekarang punah tuh Owa dari area cherry.  

Istirahat kali ini benar benar panjang, kecuali Om Okky, kami semua sempat tidur walau gak lama. Apalagi yang habis melahap indomie telur… Bapak penjual ikan yang dagangannya dipanggul cerita kalao belio jalan bawa ikan dari Jatiluhur. Katanya sudah dilakukan 30 tahun. Waduh! Sempat juga nanya, dan benar ada jalan dari Kutajati ke arah Jatiluhur, rencana trip ini mau lewat jalan itu. Yang agak bikin keder adalah si Bapak membawa golok di pinggang nya. Yaaa… kebayang lah tipe jalan nya.  Setelah dibuai semilir angin pohon kurma, kami pun menyesali betapa miringnya tanjakan dari Warung Kurma keatas. Widiiihhh… dah. Baru kerasa nih aroma Gratisan nya. 

Tak berapa lama kita pun bisa melihat sekilas waduk Jatiluhur di balik bukit, di kaki Gunung Sangga Buana. Tak lama kita pun sampai di pertigaan sederhana yang dikenal sebagai ‘Cherry’ oleh komunitas sepeda gunung.  Cherry sendiri sudah berubah, pohon rindang yang pas di depan rumah itu sudah ditebang, yang tersisa adalah pohon cherry yang ada di pojok pertigaan seberang rumah. Om Royan yang pertama ke cherry sampai heran dan berkali kali tanya, “benar gitu ini Cherrry nya?”  Gak lama kita cuma poto poto lalu lanjut menyusur punggung naga melewati Kuta Gombong, Kuta Kolambu, Kuta Tandingan dan akhirnya sampai di Kuta Jati. Kuta Jati ada warung di pertigaan, dan seperti trip solo Cherry saya yang lalu, warung ini menyediakan ES BATU! Betul es batu! Setelah membeli di desa berperadaban terdekat, lalu es batu itu dibawa ke Kuta Jati (yang tak ada listrik), dan disimpan di dalam jerami dipendam dalam lubang tanah.  

Glk.. glk.. glk.. esnya adem banget di leher. Disini saya menemukan nasi plus telur dadar juga. Widih… mantaaaappp… Udah kenyang, pun sempat tidur lagi.  Weleh, ini trip Gratisan kok tidur melulu yaaaa??? Bangun jam 2 siang dan kita pun mulai genjot lagi, menuju bagian trek yang samasekali tak tampak ada jalan yang jelas dari atas (baca: Google earth). Inilah Gratisan sebenarnya baru dimulai…  Saat mencoba membuat rencana trip ada dua pilihan jalur meninggalkan kutajati menuju Jatiluhur. Kedua jalur memang bukan jalur ‘normal’, bukan jalur doubletrack akses yang pasti akan sampai. Biasanya jalur doubletrack ini memang lebih aman, lebih pasti ada jalannya, namun lebih tidak menarik. Saat kita mencari jlaur singletrack maka kadang diperlukan sedikit imajinasi dan ‘keberuntungan’ saat menjalaninya.  Jadi dari dua pilihan jalur dari Kutajati, keduanya dirancang akan menembus hutan, siang itu kita pilih jalur yang lebih dekat, lebih memotong. Dan diduga memang di bagian tengah trek akan ada menaiki suatu bukit, mungkin akan ketemu trek yang mirip dengan ‘tembok ratapan’.

Benarkah itu yang akan dihadapi pada kenyataannya?  Disambut jalan mendatar, lalu jalan mulai menurun, tiba tiba vegetasi seputar trek juga berubah drastis, jika sebelumnya adalah kebun/ladang yang lebih terbuka, sedikit jumlah pohon dan cenderung panas menyengat, tapi kita disambut dua hal menyejukkan. Turunan panjang yang asyik masyuk, menembus hutan yang cukup lebat. Baru diketahui kemudian kalo Om Okky yang kebetulan ambil tempat paling buncit di belakang malah merasakan debu dari tiga sepeda didepannya yang seenaknya mengerem. Wakakaka…  Di tengah hutan sempat ada rumah/warung, dan kami pun bertanya, “benarkah jalan ke Jatiluhur?” dan dijawab dengan yakin, "Bisa dik… terus aja sampai nyeberang sungai kering di bawah”  Kami pun berlanjut turun meliuk kencang melewati keteduhan pepohonan yang makin merapat dan merapat. Sampai akhirnya ketemu bagian yang curam turun dan sampailah di sebuah sungai kering.  Jiaaaa… tau kan apa yang menunggu setelah ketemu sungai? Betol!!! Tanjakan curam!!  Untung kami dihibur oleh hutan lebat yang teduh. Kagum saja masih ada hutan seteduh ini di area seputar Cherry yang gersang dan kering. Kebayang mungkin kata penjual ikan yang kami temui di Warung Kurma tadi, dulunya area Cherry semestinya seteduh dan selebat ini hutannya…  Di bawah keteduhan hutan kami melanjutkan dengan acara dorong dorong sepeda, naik tanjakan berat yang tak mungkin digowes. Oya trek sudah berubah menjadi singletrek setelah sempat sebelumnya waktu ketemu rumah/warung di tengah hutan masih doubletrack. Dorooongg… akhirnya sampai lah di jalan agak mendatar, dan kami bertemu perempatan.  

Ada empat pilihan, kiri kanan lurus atau balik kanan wkwkwkw… Ada yang berusaha mencari orang untuk ditanya, ada yang mencari tukang ojek, pengennya sih ada yang bisa njawab, “Jalan ke Jatiluhur kemana ???” Jiaaaa… ditengah utan mau cari tempat bertanya…  Akhirnya berbekal view di rencana trek yang sudah ditulis di GPS (dimana waktu di perempatan ini sudah off-track) diputuskan untuk belok ke kiri, mendekat ke rencana trek semula yang tampak 1-2 km di sebelah kiri depan. Kami pun meluncur melewati singletrek. Di bawah rimbuuuunn sekali hutan. Mungkin karena terbiasa melihat dan merasakan hutan di daerah yang lebih tinggi, biasanya hutan bersepeda gunung kan di ketinggian 900-1400mdpl, sementara ini ada di sekitar 200mdpl. Karakter dan aura hutan nya berbeda. Tidak lagi basah, jadi kerasa keringnya. 

Trek dan bagian lantai hutan seperti ditebar daun dau kering tak terhitung yang berwarna kecoklatan. Saat melindas diatas daun dan ngerem, kami kadang dikagetkan gesekan antar daun yang licin juga, bikin sepeda slip.  Meliuk liuk turun melindas tumpukan daun, berusaha melihat arah singletrek dari area terbuka sibakan belukar, kadang dikagetkan dengan batu batu besar, direpotkan oleh batang batang pohon yang dekat sekali ke handlebar, beberapa waktu sepeda harus berhenti dan diangkat untuk melewati dan menghindari batu besar atau batang pohon tumbang. Andai saja ini adalah trek yang kami kenal, andai saja hati tidak dibebani kekhawatiran apakah jalan yang sedang dilewati itu benar, pasti ini trek yang luarbiasa untuk digowes. Saya jadi ingat kesan teman teman yang gowes ke Hutan Cidampit di Banten. Katanya ‘hutannya seperti di Amerika Latin”… perasaan yang sama kami rasakan siang itu.  

Cihuyyy… masih berusaha menikmati sepeda meluncur turun. Kebayang kalo jalan ini nanti ketahuan salah, mendorong kembali ke perempatan bukanlah kegiatan yang menyenangkan…  Waduh! jalan seperti hilang. Tiba tiba semak menebal! Celingukan akhirnya ditemukan turunan curam dan sungai lagi!!!  “BANTENG !!!” kata saya spontan melihat yang sedang menunggu di sungai  Apa coba, sebentuk mamalia, berkaki empat, punya tanduk melengkung dua, berada di sungai di tengah rimbun hutan antah berantah begini… Aseli saya kaget banget. Sang banteng tampaknya juga kaget setengah mati melihat kami. Sempat berhenti ambil nafas, akhirnya saya amati ternyata ada tali melilit hewan ini. Wah, sudah pasti hewan peliharaan. Kami pun mengendap endap menyeberang sungai yang airnya sedikit sekali, berjarak sekitar 5 meter dari hewan itu. 

Di seberang sungai kami akhirnya menemui semacam area terbuka persawahan, namun kering kerontang. Tampak masih bekas ditanami padi.  Mulai deh celingukan mencari arah jalan akan kemana, sambil melirik GPS dan berusaha sedekat mungkin dengan rencana trek. Ketemulah jalan buntu pertama, jalannya aseli tidak ada lagi setelah habis sebuah kebun yang ditanami sereh. Di tengah kebun tampak ada gubuk dan disekitar gubuk tampak ada induk ayam dan beberapa anaknya. Pemandangannya muskil banget. Sudah teriak permisi dan punten di seputar gubuk tidak ada jawaban. Kalo saya sendirian tinggal di gubuk tengah hutan begini lalu ada yang permisi kiranya saya juga gak akan jawab.  

Jalan buntu pertama ketemu, balik kanan kami pun masuk ke hutan lagi. Nah, lumayan ada singletrack dan dekat dengan track plan. Ikuti terus menerobos hutan kering penuh hamparan daun rontok kami pun ketemu kawasan perladangan yang lain. Buntu lagi. Rupaya begini cara hidup perambah hutan ya. Mereka mencari sungai, lalu bertanam mengandalkan air dari sungai. Kembali kita bertemu semacam gubuk namun lebih sederhana. Yang seru adalah gubuk ini dikelilingi semacam obor. Obor kecil diarahkan menghadap keluar gubuk yang berdiri di atas panggung. Hadeuh! Gak lucu banget nih kalo terpaksa menginap disini membayangkan kira kira obor mengelilingi gubuk ini gunanya untuk apa…

Rapat kecil, meskipun track plan menunjuk maju terus dan menaiki sebuah bukit “yang jangan ditunjuk tunjuk” kata member tim, namun referensi dari peta topografi yang entah bagaimana bisa mendarat di iphone Om Tulus membuat kita memutuskan balik kanan menuju perempatan awal… Dengan lesu campur khawatir tim pun melanjutkan acara dorong sepeda dalam hutan. Cuma Om Okky yang wajahnya ceria habis sambil bilang… “naaahhh… ini baru gratisannnn….”  Dengan muka sedih dan kuyu, kami pun mendorong sepeda berbalik arah, waduh aseli malas banget membayangkan turunan panjang yang sekarang berubah jadi tanjakan panjang ke perempatan tempat kita nyari tukang ojek tadi di atas.  Tanpa diduga saat kita masih di pesawahan yang kering, tampak tiga orang mamang mamang mendekat dari kejauhan. 

Alhamdulillah… akhirnya ada tempat bertanya juga. Lega nya kami akhirnya bertemu sesama manusia setelah dari tadi ketemu “banteng” lalu ayam dan terakhir obor pengusir babi hutan. Segera kami dorong dorong Om Okky untuk beraksi dengan bahasa Sunda nya… biar lebih pas….  Baru kemudian saya pahami, jika kita melewati hutan, malah singletrek akan tampak diantara rerimbunan belukar dan pohon. Tampak kemana jalan setapak menuju. Ini adalah jalan yang diimpikan pesepeda, sayangnya jalan seperti ini sangat sulit untuk bisa dilihat dari atas, untuk direncanakan di Google Earth. Sebagai ilustrasi, jika kita perjalanan naik mobil setir sendiri dan masuk ke suatu kota, kita sering kesulitan menemukan jalan keluar dari kota, menuju kota selanjutnya. Hal yang sama kira kira, saat melewati singletrack dalam hutan kita relatif benar, namun saat memasuki area peladang perambah maka kita akan kesulitan memilih dimana jalan keluar area perambah dan kemudian masuk ke hutan lagi.  

Akhirnya dengan sedikit memohon kami berhasil membawa seorang bapak bapak tua, tanpa baju dan hanya bercelana kolor plus golok, mengantar kami menuju ‘jalan setapak yang benar ke Cisarua’, ya kampung ini yang sering disebut sejak di warung Kutajati. Kami pun dibawa melewati pematang sawah kering, melewati kebun ubi jalar yang ‘dijarah’ kawanan babi hutan, sampai cerita si Bapak yang kadang menunjuk ke rerimbunan hutan sambil bilang kalo ada monyet. Fyuh!! Ternyata hewan hewan liar ini masih bertahan hidup di tengah hutan yang terjepit peradaban ini…  Akhirnya kami pun berpisah berterimakasih sambil dengan percaya diri dan hati jauh lebih tenang melewati jalan setapak masuk kembali ke hutan. Melirik jam, sudah menunjuk lebih jam 4 sore…  Suasana bercanda tim sudah lebih santai, sudah mulai bisa mentertawakan diri sendiri. Meskipun seputar trek masihlah hutan bergaya kering dan mirip hutan Amrerika Latin yang kita lihat di tivi, namun kami sungguh dalam kepercayaan diri besar kalau akan segera bertemu peradaban, yaitu Cisarua…  Sempat bertemu beberapa pertigaan dan bahkan perlimaan yang bikin galau memilih, namun jejak motor trail dan juga akhirnya muncul jejak kendaraan 4WD offroad di tengah jalan ber lumpur yang sudah mengering, makin membuat kami yakin kalau kami sedang mendekati peradaban.  

Dan setelah selingan nanjak lagi saya bayangkan segera kami bisa melihat air waduk Jatiluhur dari ketinggian punggung bukit. Dan benar… Cihuy… jam 5 sore lebih kami sudah bisa menyentuh kecipak air waduk jatiluhur ambil air wudhu. Aduuuuhhh lega nya tak terkira… perjalan yang katanya ‘finding the dead end’ alias ‘nyari jalan buntu’ ini pun dengan sukses menemukan banyak sekali jalan buntu sebelum sampai di waduk Jatiluhur. Disinilah mulai menghidupkan hp dan kembali mengirim foto waduk ke milis…  49jatiluhSetelah makan malam dengan lauk ikan dari waduk jatiluhur plus sambel dan kecap, kami tiduran sambil melewatkan maghrib. ZZzzzz…. eeee ketiduran lagi. Dasar trip kebanyakan bobo nya nih. Padahal perjalan pulang masih panjang  Singkat kata jam 9 malam akhirnya kita menemukan tim ini di dam besar sungai Citarum. Sungai citarum yang sedemikian lebar dibendung dan inilah rupanya dam awal dari jalan panjang pulang kita di trip kali ini: kalimalang.  

Perjalanan pulang sepanjang kalimalang lebih dari 45 km kita jalani onroad plus sedikit variasi offroad yang berdebu, kering, panjang dan bikin pantat serasa pengin dilepas dan ditaruh di backpack. Kalimalang di kiri trek yang serasa tak ada habisnya, campuran antara mobil biasa, motor dan kadang truk kontainer menyalip dari kanan kami. Dengan sekitar 3 kali pitstop betapa bahagianya saat ketemu jalan raya Pangkalan. Serasa sudah dekat sekali ke rumah.  Jam menunjuk sekitar 11 malam saat saya kelaperan mengisi perut lagi di warung sate dekat rumah. Seluruh perjalanan dari rumah ke rumah 96 km. Ditempuh dari subuh sampe jam 11 malam.  

Sumber: http://antoix.wordpress.com/tag/sepeda/ | Trip info:  Riding Specialized Carve 29″ hardtail tyres: Continental X-King 2.2 uphill: 9/10 singletrack: 9/10 downhill: 8/10 technical: 6/10

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer