Candi Batujaya (2): Batu Kapur Karst dari Pangkalan
Selisik-Pikiran Rakyat, 27 September 2010 | Unur, bukit-bukit kecil, terlihat menonjol di antara hamparan persawahan yang luas. Bila ditarik garis lurus, lalu dibuat penampang utara-selatan, akan terlihat unur tertinggi mencapai 8,08 meter dari permukaan sawah. Sementara unur terendah di selatan setinggi 3,75 meter. Pada umumnya, unur-unur itu dimanfaatkan oleh penduduk untuk menanam pisang, pepaya, kayu, ubi, dan tanaman lainnya. Dengan mengorek sedikit saja permukaan unur itu, akan terlihat tumpukan bata merah, yang sebelum pada 1985, tak ada yang menyangka bahwa itu adalah ba-ngunan candi. Ketika candi ini dibangun pada masa kejayaan Kerajaan Tarumanagara, lokasi kompleks percandian –yang kini secara admi-nistratif berada di Kecamatan Batujaya dan Pakisjaya, Kabupaten Karawang– masih berada di pinggir pantai, pada ketinggian nol meter dari permukaan laut. Lokasinya bersebelahan dengan muara sungai besar Ci Tarum. Akan tetapi, kini, Kompleks Percandian Batujaya itu berada pada ketinggian dua meter dari permukaan laut. Pengangkatan daratan secara evolutif itu telah mengasingkan kerajaan-kerajaan bahari, tak terkecuali Tarumanagara.
**
Satu candi yang sudah selesai diekskavasi oleh Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Indonesia adalah Candi Jiwa. Disebut demikian, karena candi itu berada di Unur Jiwa. Bagian puncak candi bata merah berukuran 19 x 19 meter dan setinggi 4,7 meter itu berbentuk kelopak bunga teratai yang sedang mekar. Bagi para peziarah yang baru datang dari berbagai arah mata angin, sebelum bersandar di muara Ci Tarum, akan melihat kompleks percandian ini laksana teratai yang mekar di kolam raksasa “Laut Jawa”. Candi-candi di sana benar-benar berwarna putih, karena candi bata merah itu dilapisi, dilepa, diplester dengan stuko (stucco) dengan kapur padam. Sejak abad ke-5, teknologi lepa stuko sudah dikenal dan menjadi salah satu keahlian teknik sipil di Kerajaan Tarumanagara.
Hasil penelitian Hasan Djafar (2000-2010) diketahui bahwa hampir di semua kaki candi bata di kompleks percandian Batujaya yang ditelitinya, terdapat lapisan kapur padam antara 1-2 sentimeter. Menariknya, teknologi beton tidak bertulang pun, pada saat itu sudah dipergunakan, terutama untuk bagian-bagian pelataran candi yang memerlukan pengerasan. Beton stuko yang dicampur dengan batu kerikil sebesar kelereng dan kemiri, menghasilkan adukan yang sangat kuat. Sesungguhnya, sekarang pun bahan utama pembuatan semen adalah batu kapur sebanyak 75-80 persen, sisanya lempung dan pasir silika dengan tambahan gips. Kalau ada yang membahas tentang kapan beton masuk ke Nusantara, seharusnya dimulai dari abad V-VII ini, terutama bila membahas beton tanpa tulang. Kalau membahas beton bertulang, memang baru empat belas abad kemudian yaitu pada abad XIX, teknologi beton bertulang itu masuk ke Nusantara, seperti yang digunakan dalam pembuatan Gedung Sate di Bandung. Teknologi pemanfaatan kapur tohor/kapur padam itu, selain untuk lepa dan beton stuko juga dimanfaatkan dalam pembuatan ornamen relief dan arca-arca kecil.
**
Di dalam kompleks percandian ini, pastilah terdapat lebih dari 24 candi bata. Untuk memplester semua bagian candi tersebut diperlukan bahan dalam jumlah yang banyak. Kapur tohor (quicklime) dihasilkan dari batu gamping, yang mengalami proses pemanasan atau kalsinasi. Batu kapur itu dibakar pada suhu antara 6.000-9.000 derajat Celsius. Apabila kapur tohor disiram dengan air secukupnya, akan dihasilkan kapur padam (hydrated/slaked quicklime) alias apu menurut istilah setempat. Mutu terbaik kapur tohor adalah yang terbakar secara lunak, menghasilkan kapur sarang, dan tidak begitu mengkerut. Sementara kapur tohor yang bermutu kurang baik, bila proses pemanasannya terlalu masak sehingga kapurnya mengerut, kompak, dan kurang sarang. Bila satu candi, sedikitnya memerlukan antara 30-35 kubik kapur padam, maka untuk 24 candi saja diperlukan 24 x 35 kubik = 840 kubik. Pastilah keperluan akan kapur padam ini lebih dari jumlah itu, karena jumlah candi dapat dipastikan lebih dari 24 candi. Ditambah lagi, setiap candi memerlukan beton stuko untuk mengeraskan pelatarannya sehingga jumlahnya akan semakin bertambah.
**
Kalau begitu, dari mana bahan batu kapur sebanyak itu diperoleh? Pada abad V, Kerajaan Tarumanagara pasti sudah memiliki banyak ahli yang dapat bekerja dengan baik, untuk pembangunan kompleks percandian ini. Ahli “geologi” yang dapat mencari sumber bahan, ahli “pertambangan” yang mengetahui bagaimana memproses batu kapur menjadi kapur tohor/kapur padam, dan ahli “transportasi” yang dapat mengangkutnya dari tempat pembakaran ke pusat percandian. Selain itu, ada pula ahli “teknik sipil” yang dapat membangun candi dengan baik (sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu), membuat beton stuko –dan melepanya dengan stuko– sehingga bangunan candi menjadi putih dan kuat. Ada lagi ahli patung dan ahli desain eksterior, sehingga berbagai meterai (votive tablet) tanah liat dan arca dibuat dengan baik. Sumber bahan itu biasanya di-pilih, karena dua sebab utama: kualitas bahannya baik dan adanya kemudahan dalam pengangkutannya. Batu kapur sebagai bahan lepa dan beton ini, pastilah diproses di lokasi bahan baku. Hasilnya –berupa kapur padam– diangkut ke lokasi pembangunan percandian. Lokasi sumber bahan yang memenuhi dua syarat itu adalah perbukitan kapur, yang kini terkenal dengan sebutan kars Pangkalan.
Kawasan batu gamping itu terletak 27 kilometer di selatan kota Karawang. Karst Pangkalan merupakan perbukitan rendah dengan puncak-puncaknya, seperti Guhawalet, Pasir Lengis, dan Leuweungsurupan. T. Martadipura (1977) menggambarkan, batu gamping di Pangkalan terdiri dari dua jenis. Pertama, batu gamping pasiran yang cadangannya tidak banyak. Kedua, batu gamping murni yang terdapat di Guhawalet, dengan sifatnya yang kompak, keras, berwarna putih agak abu, dan cadangan mencapai puluhan juta ton. Karst Pangkalan ini termasuk Formasi Parigi, melintang barat-timur, sejajar dengan garis pantai. Secara geologis, umurnya antara 10-15 juta tahun yang lalu. Ketika Kerajaan Tarumanagara giat membangun Kompleks Percandian Batujaya, kawasan perbukitan itu tingginya antara 48-118 (sekarang antara 50-120 meter dari permukaan laut). Kawasan karst Pangkalan sepanjang dua puluh kilometer itu diapit oleh dua sungai, yang memudahkan pengangkutannya.
Di sisi barat mengalir Ci Beet dan di sisi timur mengalir dengan deras induk Ci Beet, yakni Ci Tarum. Ke-dua sungai itu menjadi sarana transportasi yang sangat baik, untuk mengangkut kapur tohor/padam ke Batujaya, sejauh 62 kilometer. Kawasan batu gamping di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang ini nilainya menjadi bertambah tinggi. Selain kualitas karstnya yang termasuk karst kelas I (seperti tercantum dalam Peta Klasifikasi Kawasan Karst Provinsi Jawa Barat 2006), kawasan ini pun termasuk ke dalam situs sejarah Kerajaan Tarumanagara. Bila mengacu kepada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 20 Tahun 2006, kawasan karst kelas I ini merupakan yang wajib dilindungi dan tidak diperbolehkan untuk kegiatan budi daya yang merusak fungsinya. Pasal 13 dalam Pergub itu menyatakan bahwa peruntukan kawasan karst kelas I ini sebagai kawasan lindung yang dapat dimanfaatkan, tetapi hanya untuk kegiatan yang sifatnya tidak menurunkan mutu lingkungan dan biofisik. Hal ini pun sesuai dengan kriteria kawasan karst kelas I, seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 1456K/20/MEM/2000. Intinya, kawasan itu merupakan kawasan lindung sumber daya alam dan budaya, sehingga tidak diperbolehkan ada kegiatan penambangan. (T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan kelompok Riset Cekungan Bandung)
***
Sumber: Selisik-Pikiran Rakyat, 27 September 2010
**
Satu candi yang sudah selesai diekskavasi oleh Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Indonesia adalah Candi Jiwa. Disebut demikian, karena candi itu berada di Unur Jiwa. Bagian puncak candi bata merah berukuran 19 x 19 meter dan setinggi 4,7 meter itu berbentuk kelopak bunga teratai yang sedang mekar. Bagi para peziarah yang baru datang dari berbagai arah mata angin, sebelum bersandar di muara Ci Tarum, akan melihat kompleks percandian ini laksana teratai yang mekar di kolam raksasa “Laut Jawa”. Candi-candi di sana benar-benar berwarna putih, karena candi bata merah itu dilapisi, dilepa, diplester dengan stuko (stucco) dengan kapur padam. Sejak abad ke-5, teknologi lepa stuko sudah dikenal dan menjadi salah satu keahlian teknik sipil di Kerajaan Tarumanagara.
Hasil penelitian Hasan Djafar (2000-2010) diketahui bahwa hampir di semua kaki candi bata di kompleks percandian Batujaya yang ditelitinya, terdapat lapisan kapur padam antara 1-2 sentimeter. Menariknya, teknologi beton tidak bertulang pun, pada saat itu sudah dipergunakan, terutama untuk bagian-bagian pelataran candi yang memerlukan pengerasan. Beton stuko yang dicampur dengan batu kerikil sebesar kelereng dan kemiri, menghasilkan adukan yang sangat kuat. Sesungguhnya, sekarang pun bahan utama pembuatan semen adalah batu kapur sebanyak 75-80 persen, sisanya lempung dan pasir silika dengan tambahan gips. Kalau ada yang membahas tentang kapan beton masuk ke Nusantara, seharusnya dimulai dari abad V-VII ini, terutama bila membahas beton tanpa tulang. Kalau membahas beton bertulang, memang baru empat belas abad kemudian yaitu pada abad XIX, teknologi beton bertulang itu masuk ke Nusantara, seperti yang digunakan dalam pembuatan Gedung Sate di Bandung. Teknologi pemanfaatan kapur tohor/kapur padam itu, selain untuk lepa dan beton stuko juga dimanfaatkan dalam pembuatan ornamen relief dan arca-arca kecil.
**
Di dalam kompleks percandian ini, pastilah terdapat lebih dari 24 candi bata. Untuk memplester semua bagian candi tersebut diperlukan bahan dalam jumlah yang banyak. Kapur tohor (quicklime) dihasilkan dari batu gamping, yang mengalami proses pemanasan atau kalsinasi. Batu kapur itu dibakar pada suhu antara 6.000-9.000 derajat Celsius. Apabila kapur tohor disiram dengan air secukupnya, akan dihasilkan kapur padam (hydrated/slaked quicklime) alias apu menurut istilah setempat. Mutu terbaik kapur tohor adalah yang terbakar secara lunak, menghasilkan kapur sarang, dan tidak begitu mengkerut. Sementara kapur tohor yang bermutu kurang baik, bila proses pemanasannya terlalu masak sehingga kapurnya mengerut, kompak, dan kurang sarang. Bila satu candi, sedikitnya memerlukan antara 30-35 kubik kapur padam, maka untuk 24 candi saja diperlukan 24 x 35 kubik = 840 kubik. Pastilah keperluan akan kapur padam ini lebih dari jumlah itu, karena jumlah candi dapat dipastikan lebih dari 24 candi. Ditambah lagi, setiap candi memerlukan beton stuko untuk mengeraskan pelatarannya sehingga jumlahnya akan semakin bertambah.
**
Kalau begitu, dari mana bahan batu kapur sebanyak itu diperoleh? Pada abad V, Kerajaan Tarumanagara pasti sudah memiliki banyak ahli yang dapat bekerja dengan baik, untuk pembangunan kompleks percandian ini. Ahli “geologi” yang dapat mencari sumber bahan, ahli “pertambangan” yang mengetahui bagaimana memproses batu kapur menjadi kapur tohor/kapur padam, dan ahli “transportasi” yang dapat mengangkutnya dari tempat pembakaran ke pusat percandian. Selain itu, ada pula ahli “teknik sipil” yang dapat membangun candi dengan baik (sesuai dengan aturan yang berlaku saat itu), membuat beton stuko –dan melepanya dengan stuko– sehingga bangunan candi menjadi putih dan kuat. Ada lagi ahli patung dan ahli desain eksterior, sehingga berbagai meterai (votive tablet) tanah liat dan arca dibuat dengan baik. Sumber bahan itu biasanya di-pilih, karena dua sebab utama: kualitas bahannya baik dan adanya kemudahan dalam pengangkutannya. Batu kapur sebagai bahan lepa dan beton ini, pastilah diproses di lokasi bahan baku. Hasilnya –berupa kapur padam– diangkut ke lokasi pembangunan percandian. Lokasi sumber bahan yang memenuhi dua syarat itu adalah perbukitan kapur, yang kini terkenal dengan sebutan kars Pangkalan.
Kawasan batu gamping itu terletak 27 kilometer di selatan kota Karawang. Karst Pangkalan merupakan perbukitan rendah dengan puncak-puncaknya, seperti Guhawalet, Pasir Lengis, dan Leuweungsurupan. T. Martadipura (1977) menggambarkan, batu gamping di Pangkalan terdiri dari dua jenis. Pertama, batu gamping pasiran yang cadangannya tidak banyak. Kedua, batu gamping murni yang terdapat di Guhawalet, dengan sifatnya yang kompak, keras, berwarna putih agak abu, dan cadangan mencapai puluhan juta ton. Karst Pangkalan ini termasuk Formasi Parigi, melintang barat-timur, sejajar dengan garis pantai. Secara geologis, umurnya antara 10-15 juta tahun yang lalu. Ketika Kerajaan Tarumanagara giat membangun Kompleks Percandian Batujaya, kawasan perbukitan itu tingginya antara 48-118 (sekarang antara 50-120 meter dari permukaan laut). Kawasan karst Pangkalan sepanjang dua puluh kilometer itu diapit oleh dua sungai, yang memudahkan pengangkutannya.
Di sisi barat mengalir Ci Beet dan di sisi timur mengalir dengan deras induk Ci Beet, yakni Ci Tarum. Ke-dua sungai itu menjadi sarana transportasi yang sangat baik, untuk mengangkut kapur tohor/padam ke Batujaya, sejauh 62 kilometer. Kawasan batu gamping di Desa Tamansari, Kecamatan Pangkalan, Kabupaten Karawang ini nilainya menjadi bertambah tinggi. Selain kualitas karstnya yang termasuk karst kelas I (seperti tercantum dalam Peta Klasifikasi Kawasan Karst Provinsi Jawa Barat 2006), kawasan ini pun termasuk ke dalam situs sejarah Kerajaan Tarumanagara. Bila mengacu kepada Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 20 Tahun 2006, kawasan karst kelas I ini merupakan yang wajib dilindungi dan tidak diperbolehkan untuk kegiatan budi daya yang merusak fungsinya. Pasal 13 dalam Pergub itu menyatakan bahwa peruntukan kawasan karst kelas I ini sebagai kawasan lindung yang dapat dimanfaatkan, tetapi hanya untuk kegiatan yang sifatnya tidak menurunkan mutu lingkungan dan biofisik. Hal ini pun sesuai dengan kriteria kawasan karst kelas I, seperti yang tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia No. 1456K/20/MEM/2000. Intinya, kawasan itu merupakan kawasan lindung sumber daya alam dan budaya, sehingga tidak diperbolehkan ada kegiatan penambangan. (T. Bachtiar, Anggota Masyarakat Geografi Indonesia dan kelompok Riset Cekungan Bandung)
***
Sumber: Selisik-Pikiran Rakyat, 27 September 2010
Komentar
Posting Komentar