Mata Air Warga Terancam
PANGKALAN, RAKA - Gempuran para pengusaha tambang yang terus merusak ekosistem kawasan perbukitan kapur (Karst) Pangkalan harus diselamatkan. Demikian amanat yang diberikan M Nashori SE kepada Usep Supriatna AP MSi, saat serah terima jabatan Camat Pangkalan, kemarin.
Disebutkan Nashori, Kecamatan Pangkalan merupakan daerah resapan air yang harus dijaga, sisi lain termasuk ke dalam zona industri. Bahkan desa yang masuk zona industri yaitu Desa Tamanmekar dan Desa Tamansari, merupakan desa yang memiliki karst kategori satu. "Seharusnya tidak digali, namun pada kenyataannya penggalian tersebut sudah dimulai sejak zaman penjajahan dulu. Namun bedanya dengan zaman sekarang, dulu pertambangan menggunakan alat manual, tapi saat ini menggunakan alat berat serta bahan peledak," ungkap Nashori.
Selain itu, digambarkan Nashori, sering terjadi perusahaan yang izin dan dokumennya belum lengkap sudah melakukan pertambangan. Malah lebih ironisnya lagi ketika tidak disetujui aktivitasnya, pihak pengusaha tetap menjalankan aksinya dengan alasan yang bekerja adalah penduduk setempat. "Saya berharap pada pejabat camat yang enggantikan saya senantiasa dapat melanjutkan program selama saya menjabat Camat Pangkalan. Karena sama-sama sebagai duta pemerintahan untuk melayani masyarakat," tutur Nashori yang kini menjadi Camat Jayakerta.
Menyikapi permasalahan tersebut, Usep Supriatna menyampaikan, akan melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak terutama dengan para pegawai kecamatan. "Sebab seorang camat tidak akan ada artinya manakala kesepahaman ini tidak didukung oleh staf kecamatan sendiri," ungkapnya.
Diketahui, secara geologis, Karst Pangkalan merupakan bentang alam yang terbentuk pada formasi batu gamping berumur Miosen Tengah-Akhir, kira-kira 10 – 15 juta tahun yang lalu yang dinamakan Formasi Parigi. Batuannya berupa batu gamping terumbu. Hal itu menunjukkan bahwa pada kala itu, daerah Pangkalan merupakan laut dangkal yang ditumbuhi terumbu karang yang tumbuh subur pada kondisi iklim hangat dengan air laut yang jernih. Saat terangkat sekarang ini, terumbu itu telah berubah menjadi wilayah perbukitan dengan ketinggian 50 – 120 m di atas permukaan laut sekarang.
Karst Pangkalan, sebagaimana Kawasan Karst Kelas I lainnya, mempunyai nilai-nilai sos-ek-dik-bud yang tidak dapat dipisah sendiri-sendiri. Kawasan ini yang tersebar luas di Desa Tamansari diketahui mempunyai banyak gua yang belum banyak diteliti. Gua-gua yang merupakan gua vertikal dan berupa lubang di permukaan tanah umumnya merupakan ladang panen sarang walet yang potensial untuk peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
Sedikitnya terdapat 17 gua dengan potensi sarang walet, yaitu Luweng Pangambuh, Cibunut, Cimiring, Sempit, Keman, Cisumur, Sitela, Gede, Sipeleng, Cileuwi, Haji, Situmeja, Silonong, Cibenda, Ja`in, Cikandil, dan Cimandor. Ada empat gua sebagai sarang lalay, yaitu di Luweng Bahu, Sikondang, Gua Lumpang, dan Masigit. Ada empat gua tempat masukan air dan sungai bawah tanah, yaitu di Luweng Gede, Cibadak, Baucinyusup, dan Sitamyang. Sebuah gua dikeramatkan oleh penduduk setempat yaitu di gua berbentuk ceruk Song Paseban.
Selain itu, kawasan karst ini mempunyai sedikitnya dua mata air potensial. Pertama adalah Ciburial yang mempunyai debit air lebih dari 5 liter/detik. Mata air ini dikelola oleh PDAM untuk didistribusikan di Kecamatan Pangkalan yang meliputi tiga desa besar, yaitu Ciptasari, Tamansari, dan Jatilaksana. Mata air lain sekalipun tidak sebesar Ciburial, banyak dijumpai di kaki-kaki perbukitan karst, misalnya Citaman, yang menjadi pemasok air bersih utama bagi kampung-kampung di sekitarnya.
Banyaknya mata air karst tidak lepas dari kondisi lingkungan yang masih cukup berhutan di wilayah perbukitan. Tentu saja keberlangsungan air bersih akan terjaga jika wilayah hutan dipertahankan. Maka jelaslah bagaimana fungsi antara hutan, lubang-lubang, dan gua-gua di permukaan tanah, serta gua-gua di dalam batuan menjadi satu sistem hidrologis yang kait-mengait. Satu unsur terganggu, seluruhnya akan binasa. (ark)
Disebutkan Nashori, Kecamatan Pangkalan merupakan daerah resapan air yang harus dijaga, sisi lain termasuk ke dalam zona industri. Bahkan desa yang masuk zona industri yaitu Desa Tamanmekar dan Desa Tamansari, merupakan desa yang memiliki karst kategori satu. "Seharusnya tidak digali, namun pada kenyataannya penggalian tersebut sudah dimulai sejak zaman penjajahan dulu. Namun bedanya dengan zaman sekarang, dulu pertambangan menggunakan alat manual, tapi saat ini menggunakan alat berat serta bahan peledak," ungkap Nashori.
Selain itu, digambarkan Nashori, sering terjadi perusahaan yang izin dan dokumennya belum lengkap sudah melakukan pertambangan. Malah lebih ironisnya lagi ketika tidak disetujui aktivitasnya, pihak pengusaha tetap menjalankan aksinya dengan alasan yang bekerja adalah penduduk setempat. "Saya berharap pada pejabat camat yang enggantikan saya senantiasa dapat melanjutkan program selama saya menjabat Camat Pangkalan. Karena sama-sama sebagai duta pemerintahan untuk melayani masyarakat," tutur Nashori yang kini menjadi Camat Jayakerta.
Menyikapi permasalahan tersebut, Usep Supriatna menyampaikan, akan melakukan konsolidasi dengan berbagai pihak terutama dengan para pegawai kecamatan. "Sebab seorang camat tidak akan ada artinya manakala kesepahaman ini tidak didukung oleh staf kecamatan sendiri," ungkapnya.
Diketahui, secara geologis, Karst Pangkalan merupakan bentang alam yang terbentuk pada formasi batu gamping berumur Miosen Tengah-Akhir, kira-kira 10 – 15 juta tahun yang lalu yang dinamakan Formasi Parigi. Batuannya berupa batu gamping terumbu. Hal itu menunjukkan bahwa pada kala itu, daerah Pangkalan merupakan laut dangkal yang ditumbuhi terumbu karang yang tumbuh subur pada kondisi iklim hangat dengan air laut yang jernih. Saat terangkat sekarang ini, terumbu itu telah berubah menjadi wilayah perbukitan dengan ketinggian 50 – 120 m di atas permukaan laut sekarang.
Karst Pangkalan, sebagaimana Kawasan Karst Kelas I lainnya, mempunyai nilai-nilai sos-ek-dik-bud yang tidak dapat dipisah sendiri-sendiri. Kawasan ini yang tersebar luas di Desa Tamansari diketahui mempunyai banyak gua yang belum banyak diteliti. Gua-gua yang merupakan gua vertikal dan berupa lubang di permukaan tanah umumnya merupakan ladang panen sarang walet yang potensial untuk peningkatan ekonomi masyarakat setempat.
Sedikitnya terdapat 17 gua dengan potensi sarang walet, yaitu Luweng Pangambuh, Cibunut, Cimiring, Sempit, Keman, Cisumur, Sitela, Gede, Sipeleng, Cileuwi, Haji, Situmeja, Silonong, Cibenda, Ja`in, Cikandil, dan Cimandor. Ada empat gua sebagai sarang lalay, yaitu di Luweng Bahu, Sikondang, Gua Lumpang, dan Masigit. Ada empat gua tempat masukan air dan sungai bawah tanah, yaitu di Luweng Gede, Cibadak, Baucinyusup, dan Sitamyang. Sebuah gua dikeramatkan oleh penduduk setempat yaitu di gua berbentuk ceruk Song Paseban.
Selain itu, kawasan karst ini mempunyai sedikitnya dua mata air potensial. Pertama adalah Ciburial yang mempunyai debit air lebih dari 5 liter/detik. Mata air ini dikelola oleh PDAM untuk didistribusikan di Kecamatan Pangkalan yang meliputi tiga desa besar, yaitu Ciptasari, Tamansari, dan Jatilaksana. Mata air lain sekalipun tidak sebesar Ciburial, banyak dijumpai di kaki-kaki perbukitan karst, misalnya Citaman, yang menjadi pemasok air bersih utama bagi kampung-kampung di sekitarnya.
Banyaknya mata air karst tidak lepas dari kondisi lingkungan yang masih cukup berhutan di wilayah perbukitan. Tentu saja keberlangsungan air bersih akan terjaga jika wilayah hutan dipertahankan. Maka jelaslah bagaimana fungsi antara hutan, lubang-lubang, dan gua-gua di permukaan tanah, serta gua-gua di dalam batuan menjadi satu sistem hidrologis yang kait-mengait. Satu unsur terganggu, seluruhnya akan binasa. (ark)
Komentar
Posting Komentar