Candi Batujaya dan Karst Pangkalan
Sengaja saya tempatkan Candi Batujaya dalam posisi sejajar dengan Karst Pangkalan karena dengan susunan itu saya bermaksud sedikit menyinggung keterhubungan di antara keduanya. Ternyata, dari salah sebuah rilis berita dapat terbaca bahwa, Karst Pangkalan telah berfungsi penting sejak zaman Tarumanegara (sekira abad ke-3 atau ke-4 M). Informasi tersebut bagi saya menarik dan unik. Melalui teknologi beton stuko (stucco), kita dapat membayangkan peradaban seperti apa yang pernah hadir di Karawang. Beton stuko adalah simbol kemajuan. Darinya kita dapat membayangkan kemandirian dan kemajuan masyarakat di sana pada zaman itu. Stuko atau plester berwarna putih digunakan sebagai pelapis tembok candi-candi di kompleks percandian Batujaya agar lebih kuat. Stuko juga digunakan untuk membuat ornamen, relief, dan arca. Bahan baku stuko diperoleh dari pembakaran batu kapur pada suhu 900-1.000 derajat celsius. Dan kapur tersebut diambil dari pegunungan gamping yang membentang dari arah barat-timur sepanjang 20 kilometer di wilayah Karawang Selatan.
Radar Karawang, dalam sebuah rilisnya, memberi banyak keterangan dasar untuk mengenal kawasan karst Pangkalan. Diketahui, secara geologis, Karst Pangkalan merupakan bentang alam yang terbentuk pada formasi batu gamping berumur Miosen Tengah-Akhir, kira-kira 10 – 15 juta tahun yang lalu yang dinamakan Formasi Parigi. Batuannya berupa batu gamping terumbu. Hal itu menunjukkan bahwa pada kala itu, daerah Pangkalan merupakan laut dangkal yang ditumbuhi terumbu karang yang tumbuh subur pada kondisi iklim hangat dengan air laut yang jernih. Saat terangkat sekarang ini, terumbu itu telah berubah menjadi wilayah perbukitan dengan ketinggian 50 – 120 m di atas permukaan laut sekarang.
Karst Pangkalan, sebagaimana Kawasan Karst Kelas I lainnya, mempunyai nilai-nilai sos-ek-dik-bud yang tidak dapat dipisah sendiri-sendiri. Kawasan yang membentang dari barat ke timur ini besar kemungkinan menyimpan banyak gua. Setidaknya di Desa Tamansari diketahui terdapat banyak gua, penelitian yang komprehensif besar kemungkinan belum dilakukan. Gua vertikal dan berupa lubang di permukaan tanah umumnya merupakan ladang panen sarang walet yang juga potensi bagus untuk peningkatan ekonomi masyarakat setempat. Menyinggung sarang burung walet, ada sebuah buku berjudul Mayor Jantje - Cerita Tuan Tanah Batavia Abad ke-19 (Jakarta, 2008), yang merupakan terjemahan dari buku De Zwaluwen van Klapanoenggal (Den Haag, 1979), karangan Johan Fabricius, relevan untuk turut diketengahkan.
Singkatnya buku tersebut menceritakan bukti-bukti pemanfaatan kawasan karst di Citeureup, Jawa Barat. Kisahnya realistis. Mayor Jantje adalah pemilik tanah terluas di Jawa Barat. Amat sangat kaya raya. Cerita dibangun untuk mengatakan bahwa kawasan karst dan sarang walet adalah pasangan ideal; pembaca diajak untuk mengetahui bahwa salah satu sektor yang paling banyak menyumbang penghasilan sang mayor sehingga pundi kekayaannya terus bertumpuk-tumpuk adalah sarang-sarang walet yang subur dan terawat di gua-gua miliknya. Meski gaya hidup bermewah-mewah dilakoninya, namun kekayaannya bagai takberkurang dan justru terus berlipat-lipat ganda. Tetamu yang datang ke Vila Citeureup milik sang mayor menjadi kerasan tinggal karena dijamu dengan sebaik-baiknya perjamuan. Makanan, minuman, dan perempuan terus disajikan bersama iringan kesenian tandak dan tanjidor. Bunga nilai ekonomis yang tumbuh dan mekar dari kawasan karst dan gua-guanya tergambar begitu jelas dan nyata sehinga sedikit-sedikit mendorong pembacanya untuk turut menyetujui betapa lanskap karst yang kaya dan masih terjaga jauh lebih bernilai dibandingkan dengan pertambangan dan usaha-usaha industri ekstraktif apa pun.
Wartawan Radar Karawang (2012), Raka, mengutip Budi Brahmantyo (2008), mencatat sedikitnya terdapat 17 gua dengan potensi sarang walet, yaitu Luweng Pangambuh, Cibunut, Cimiring, Sempit, Keman, Cisumur, Sitela, Gede, Sipeleng, Cileuwi, Haji, Situmeja, Silonong, Cibenda, Ja`in, Cikandil, dan Cimandor. Ada empat gua sebagai sarang lalay, yaitu di Luweng Bahu, Sikondang, Gua Lumpang, dan Masigit. Ada empat gua tempat masukan air dan sungai bawah tanah, yaitu di Luweng Gede, Cibadak, Baucinyusup, dan Sitamyang. Sebuah gua dikeramatkan oleh penduduk setempat yaitu di gua berbentuk ceruk yang dikenal dengan Song Paseban.
Tim Latgab Mapala Jabodetabeka (2010) juga pernah membuat peta beberapa gua di kawasan tersebut, di antaranya Gua-gua yang dipetakan tersebut adalah Gua Bahu, Cinyurup III, Cilele, Citamiang, Haji, Bagong, Gede, Terowong, NN, Keman, Bedawang, Cikondang, Khotib, Cikembar, Cipeuleung, Pengemboh, Miring, dan Angin. Selain hasil peta gua, hasil lain dari kegiatan ini juga berupa titik koordinat lokasi mulut gua pada peta topography skala 1 : 25.000 juga data sosial budaya masyarakat sekitar yang diperoleh dari hasil wawancara beberapa warga di sekitar lokasi kegiatan.
Selain itu, kawasan karst ini mempunyai sedikitnya dua mata air potensial. Pertama adalah Ciburial yang mempunyai debit air lebih dari 5 liter/detik. Mata air ini dikelola oleh PDAM untuk didistribusikan di Kecamatan Pangkalan yang meliputi tiga desa besar, yaitu Ciptasari, Tamansari, dan Jatilaksana. Mata air lain sekalipun tidak sebesar Ciburial, juga banyak dijumpai di kaki-kaki perbukitan karst, misalnya Citaman, yang menjadi pemasok air bersih utama bagi kampung-kampung di sekitarnya.
Banyaknya mata air karst tidak lepas dari kondisi lingkungan yang masih cukup berhutan di wilayah perbukitan. Tentu saja keberlangsungan air bersih akan terjaga jika wilayah hutan dipertahankan. Maka jelaslah bagaimana fungsi antara hutan, lubang-lubang, dan gua-gua di permukaan tanah, serta gua-gua di dalam batuan menjadi satu sistem hidrologis yang kait-mengait. Antara eksokarst dan endokarst. Satu unsur di dalam sistem terganggu, seluruhnya akan ikut menerima dampak.
Di dalam berita yang dirilis Kompas, kita juga menjadi tahu dan sedikit paham bahwa sudah selayaknya untuk diupayakan sebuah pengelolaan yg lestari dan berperspektif jangka panjang, pemerintah daerah juga harus berani menetapkan perlindungan terhadap situs utama (Batujaya) dan situs pendukung (Karst Pangkalan).
Saat ini, Karst Pangkalan nasibnya berada di ujung tanduk akibat eksploitasi penambangan dan pembuatan kapur bakar. Apakah pantas kalau kita hanya duduk sambil berpangku tangan? Ayo susun rencana. Pada mulanya (mungkin) ekskursi.
Komentar
Posting Komentar